[RESUME] Sebelum Meminta Anak Shalih. Yuk, jadi Orang Tua Shalih
#APAKABAR?
Resume “Sebelum Meminta Anak Shalih. Yuk, jadi Orang Tua Shalih”dalam
Kajian Pengasuhan Parents as Teacher
Assalamualaikum
teman-teman, apa kabar?
Kali
ini aku akan sharing tentang tema yang berbeda dari biasanya. Tema ini juga
menjadi salah satu hal yang aku suka, yakni tentang parenting. Ya..ya
Syifa Maulina Adzkiya kamu kan belum punya anak? Buat apa? Nah,
justru itu, aku sangat bersyukur didekatkan dan diberi kesempatan untuk
mempelajari lebih dalam dunia pendidikan anak-anak sebelum aku mempunyai anak
karena aku pikir, aku akan kesulitan membagi waktu jika sudah punya anak.Kenapa? karena mengingat diriku yang cukup lelet. hehe
Makanya,
Allah memberikan kesempatanku untuk mulai belajar sekarang bukan besok. Kali meresume kajian
pengasuhan yang diselenggarakan oleh PAUD Bintang Juara dengan pembicara Abah
Ihsan, siapa itu Abah Ihsan kalian bisa googling sendiri di internet atau buka
webnyany www.Auladi.com. Kajian
ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 1 Oktober 2016 di Hotel Kesambi Hijau
Semarang. Sebenarnya, disini, aku mewakili sekolahku
untuk mengikuti kajian pengasuhan tersebut. Thanks ya TK Ummul Quro Semarang
atas kesempatan yang diberikan kepadaku *kiss *kiss
Enggak
nyangka kajian pengasuhan selama tiga jam itu akan berlangsung sangat cepat.
Abah Ihsan sangat cerdik mencuri perhatian kurang lebih 250 peserta di dalam
ruangan. Rasanya nih sayang banget dilewatkan barang semenit ajah. Temanya menarik
dan disampaikan dengan jenaka tanpa menghilangkan informasi penting. Aku aja
yang orangnya cukup mudah bosan bisa betah banget di dalam ruangan, lupa dengan hape, buku catatan penuh,
dan mau izin “kebelakang” rasanya sayang banget (ya, walaupun tetep ke belakang
ya, daripada nantinya tambah gak fokus)
Suasana Kajian |
Jadi,
teman-temanku yang pandai nan rupawan :D kalau kalian berniat membaca resume ini, saya
sarankan buruan gih ambil cemilan dan minum soalnya ini akan panjang ceritanya hehe
RESUME
RESUME
Bagaimanapun cara kita dulu menjalani hidup,
ketika kita mempunyai anak pasti menginginkan anak kita menjadi anak yang
shalih dan menjalani hidup lebih baik dibanding kita. Sebelum kita berbicara
tentang bagaimana jalan untuk menjadi
orang tua yang shalih, mari kita samakan persepsi tentang definisi shalih dalam
kajian ini. Shaleh menurut Abah Ihsan dalam parenting
adalah memberikan manfaat dan nilai-nilai kebaikan. Jadi, bagaimanakah orang
tua yang shaleh itu? Mereka adalah orang
tua yang memberikan kebermanfaatan dan nilai-nilai yang baik agar anak dapat
menjalani kehidupan dengan baik. Begitupun pengertian dari suami, istri, dan
anak yang sholeh.
Sebelum meminta anak kita menjadi shalih,
alangkah lebih baik kita belajar menjadi orang tua yang shalih. Dengan kata
lain, orang tua yang memberikan banyak manfaat terhadap anak-anaknya, dalam hal
ini bekal untuk menjalani kehidupan dengan baik dan benar.
Diceritakan oleh Abah Ihsan, salah satu
kliennya berkonsultasi tentang kesedihanya terhadap sikap anak yang tidak
terlalu perhatian kepada kedua orang tua. Bahkan saat ayahnya sakit mereka
hanya menelpon dan mengirimkan sms untuk menanyakan kabar, mereka tdak dapat
menjenguk sang ayah dengan alasan sibuk. Anak laki-laki pertama telah menjadi
seorang petinggi di kepolisian, anak kedua menjadi dokter, dan yang ketiga
sedang mendapat tugas belajar di luar negeri. Jika ukuran keberhasilan orang
tua mendidik anak adalah harta dan tahta, maka klien tersebut tentunya sudah
sukses mendidik anak-anak mereka. Tapi, setelah mendapatkan hal tersebut dia
baru merasa bukan ini satu-satunya tujuan mendidik anak. Setelah melakukan
obrolan yang mendalam, ternyata dapat disimpulkan bahwa ketiga anak dari klien
tersebut merasa tidak nyaman berada di dekat ayah mereka. Alasannya, karena ayah
mereka dianggap terlalu keras, selalu merasa benar, dan memaksakan kehendak.
Jika kita merasa bahwa anak baik-baik saja dengan segala perlakuan kasar dan
mereka selalu mematuhi semua perintah, bukan berarti mereka nyaman. Mereka hanya
menunggu waktu untuk memberontak saat sudah memiliki banyak daya, saat nanti
mereka beranjak dewasa misalnya. Mendidik anak dengan baik itu ibarat hutang.
Jika saat kecil kita tidak mendidiknya dengan baik, maka kita akan membayarnya
saat mereka membuat masalah yang lebih besar ketika dewasa.
Menurut Abah Ihsan, anak-anak yang pada masa
remaja atau dewasanya bermasalah dan atau melakukan kejahatan, kemungkinan
besar ada yang salah pada masa kecilnya. Entah itu berupa kekerasan fisik,
psikologis, dan seksual. Itulah beberapa alasan di antara sekian banyak alasan
mengapa kita sebagai orang tua seharusnya melakukan koreksi berkaitan dengan
cara mendidik anak dan tidak terus meminta anak menjadi anak yang sholeh
sedangkan kita belum menjadi orang tua yang shalih bagi mereka. (ingat definisi sholeh pada kajian ini)
Beberapa Jalan menjadi
Orangtua Shaleh:
1. Punya Ilmunya
“Hari ini jika kita tidak memiliki ilmu
mempengaruhi anak.
Maka, anak akan dipengaruhi orang lain (dirampas
lingkungan)”
Jika Anda adalah generasi 80 atau 90an,
mungkin pernah mendengar kalimat ini terlontar dari Ibu Anda “Kalau kata orang, mendidik anak sekarang
itu harus dengan memberikan tauladan, bukan hanya menyuruh. Ibu sudah
melakukannya, tapi kenapa kamu masih tetap saja tidak pernah meniru tauladan
ibu dengan baik.” Atau bisa jadi sekarang Anda juga sering menuturkan
kalimat yang kurang lebih sama dengan ucapan di atas?
Ya, memang benar kalau “Ternyata mendidik
anak zaman sekarang TIDAK CUKUP hanya dengan memberikan TAULADAN. Tetapi Anda
juga HARUS memiliki kemampuan untuk MEMPENGARUHI anak sebelum anak Anda terpengaruh
oleh lingkungan yang negatif.
Kenapa?
Jika
zaman dahulu orang tua kita dapat mendidik anak dengan baik dan sukses tanpa
mengetahui ilmunya, itu karena mereka tidak memiliki kompetitor sebagai
pendidik anak. Anak hanya akan mendapat informasi dari orang yang lebih
dewasa. Bandingkan dengan zaman sekarang.
Anak-anak dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai sumber dan media,
ditambah mereka juga memiliki “self
learning” yang luar biasa sehingga mereka dapat membandingkan informasi dan
menentukan nilai hidupnya sendiri.
Apabila dalam proses masuknya informasi ini
kita tidak mendampingi mereka dan tidak memiliki kemampuan mempengaruhi yang
sama kuatnya dengan kompetitor di luar sana, maka yang terjadi adalah anak-anak
bisa saja menentukan nilai hidup yang salah atau tidak sesuai dengan norma yang
ada.
Salah menentukan nilai hidup bisa terjadi
pada anak. Kurangnya kedekatan dan bimbingan dari orang tua dapat membuat anak
atau remaja kehilangan self control.
Ditambah lagi, jika saat di rumah, mereka sering disalahkan, dibandingkan, atau
dimarahi secara berlebihan. Tentunya
ini akan membuat mereka merasa harga
dirinya hancur sehingga mereka mencari pengakuan terhadap harga diri mereka di
luar rumah bersama teman-teman.
Sebenarnya, sebagian besar masalah utama
orang tua yang marah secara berlebihan terhadap anak bukan semata-mata karena perilaku
anak yang salah, melainkan orang tua kurang mempunyai skill untuk menaklukan
anak. Kita bisa mengambil contoh saat anak menumpahkan air minum. Jika dilogika,
jelas tidak ada anak yang ingin dengan sengaja menumpakan air. Sudah tau kalau
mereka tidak sengaja, mengapa kita sebagai orang tua harus marah dan menanyakan
alasannya? Bukankah akan lebih baik jika kita meminta mereka mengambil kain
untuk membersihkan tumpahan itu. Tindakan itu akan jauh lebih baik untuk dapat
melatih tanggung jawab pada anak terhadap apa yang mereka perbuat. Jika kita
hanya memarahi mereka tanpa menanamkan rasa tanggung jawab, kemarahan tersebut hanya
akan membuat anak takut, dan imbasnya mereka akan berbohong saat melakukan
kesalahan.
Pada keadaan terdesak, orang cenderung untuk
memanggil ingatan masa lalu untuk menyelesaikan masalah. Salah satu contohnya, dalam
mendidik anak. Ketika melihat perilaku anak yang menurut kita tidak sesuai,
biasanya kita akan menggunakan cara lama, cara yang kita peroleh dari perlakuan
orang tua kita dahulu. Jika dulu kita sering dibentak, maka kita akan tanpa
sadar membentak anak. Jika kita sering dibandigkan, tanpa sadar kita akan
sering membandingkan anak kita dengan orang lain, dan atau parahnya jika kita
mendapatkan kekerasan, maka kemungkinan besar kita juga akan melakukan
kekerasan yang sama terhadap anak-anak kita.
Oleh karena itu, dalam rangka memutus rantai
salah asuh tersebut, pada kajian ini
kita diajak untuk terus belajar mendidik anak sesuai dengan masanya. Untuk
dapat meninggalkan kebiasaaan buruk perlakuan terhadap anak yang telah lama
mengakar, kita harus sering menginstal
ulang diri kita dengan terus belajar dan mengikuti kajian semacam ini.
2. Bebaskan Kehidupan Anak
“Setiap anak terlahir suci. Pada dasarnya Allah
menciptakan makhluk hidup mencintai kebaikan.”
Jalan kedua untuk menjadi orangtua shalih
adalah membebaskan anak sesuai dengan fitrahnya sepanjang tidak berlebihan. Apa
saja fitrah anak itu? (1) jujur, (2) kreatif, (3) disiplin, (4) mandiri, dan
(5) punya rasa ingin tahu yang besar (rajin belajar). Jika ada
anak yang berperilaku tidak sesuai fitrahnya, seperti suka bohong, pesimis,
malas, suka bergantung pada orang lain, itu bisa saja salah satu penyebabnya berasal
dari kita sebagai orang tua. Berikut ini penjelasan singkatnya.
Jujur
Jika ada ungkapan bahwa anak-anak adalah makhluk paling jujur,
itu tepat sekali. Mereka mengatakan apa yang benar-benar ada dalam pikiran
mereka. Akan tetapi pada perjalanannya justru kita yang menjadikan fitrah
tersebut berubah dengan membuat mereka merasa tidak aman saat berkata jujur.
Contoh kecilnya adalah kita akan langsung memarahi mereka atas kesalahan yang
tanpa sengaja mereka lakukan. Mereka tidak sengaja menumpahkan air saat
bermain. Kita tahu kalau itu tidak sengaja mereka lakukan, tapi kita masih
memarahi mereka, bertutur dengan intonasi yang tinggi, dan ekspresi menakutkan.
Terlebih jika kita menggunakan kata-kata yang kasar, seperti “dasar ceroboh”, “matanya
di taruh mana?” dan lain-lain. Hal tersebut membuat anak (baca: yang
menumpahkan air) merasa tidak aman dan takut mengakui bahwa dia yang
menumpahkannya. Selain contoh tersebut, masih banyak kebiasaan lain yang tanpa
sadar kita lakukan sebagai orang tua dan justru memicu mereka menjadi anak yang
tidak jujur.
Kreatif dan Suka Belajar (Mempunyai Rasa Ingin Tahu yang
Besar)
Anak-anak adalah makhluk yang tidak
pernah kehabisan ide. Mereka bisa menggunakan apapun sebagai permainannya.
Mereka juga makhluk yang paling suka tantangan dan banyak kemauan. Akan tetapi,
kita para orang tua sering mematikan kreativitas mereka ketika mereka sedang mengeksplorasi
sesuatu. Tidak boleh main ini, itu, jangan main ini, main itu. Kita
menginginkan anak kita “anteng”. Jika sudah begitu, jangan salahkan anak kita jika
saat dewasa mereka kehilangan kemauan, pesimis dan tidak kreatif karena saat
kecilnya, kita sering melarang mereka.
Menurut Abah Ihsan, larangan yang
kita berikan lebih cenderung diidentifikasi sebagai bentuk kemalasan kita untuk
menemani anak-anak. Apa salahnya jika mereka bermain di tangga atau mengeksplorasi
lingkungannya? Cukup perhatikan saja mereka atau bahkan Anda bisa ikut bermain
dengan mereka supaya lebih aman, tanpa harus melarangnya.
Kasus lain yang sering terjadi
adalah saat anak-anak kita mengajukan banyak pertanyaan. Terkadang kita malas
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tiada
henti dari mereka. Entah karena kita tidak tahu harus menjawab apa, atau
mungkin karena kita sedang sibuk dengan
hal lain.
Menjadi orang tua terbaik tidak perlu tahu
segalanya. Kita tidak perlu menjawab semua pertanyaan anak saat itu juga.
Jujurlah saat kita tidak bisa menjawab, katakan, “maaf ya Nak, Ayah sedang
sibuk. Nanti Ayah jawab setelah urusan selesai,” atau ajak anak untuk mencari
jawabannya sama-sama. Kita tidak disarankan untuk marah saat mereka banyak
bertanya karena itu akan membuat mereka berhenti bertanya dan mematikan rasa
ingin tahu mereka. “Kita tidak berhak mematikan rasa penasaran anak sebab jika
rasa penasaran mati, maka kebenaran juga akan mati,” ujar Abah Ihsan.
Disiplin dan Mandiri
Salah satu tanda anak-anak terlahir
dengan fitrah disiplin dapat dilihat saat mereka masih bayi. Bayi biasanya akan
bangun dua jam sebelum matahari terbit dan akan tidur dua jam setelah matahari
terbenam. Jika siklus ini diubah, tentunya akan menganggu fitrah kedisiplinan
mereka. Namun seringkali, alasan “Tidak Tega”
menjadi senjata utama Ibu untuk cepat-cepat menidurkan mereka kembali meskipun
belum waktunya. Perlakuan semacam ini dapat membuat anak-anak yang secara alami
mempunyai kemampuan disiplin menjadi kurang disiplin.
Contoh lain, pernah mendapati
anak-anak menangis ketika orang tuanya akan pergi bekerja? Seringnya kita akan
pergi diam-diam atau berbohong saat menghadapi situasi itu. Menurut Abah Ihsan,
sebaiknya kita berkata jujur ketika akan pergi. Katakan pada mereka, “Mama mau
pergi, kita akan main lagi setelah mama pulang, kalau mau nangis silakan saja,
dadah..”. Anak menangis adalah sebuah kewajaran. Hanya saja, kita orang dewasa
yang cenderung tidak tega dan tidak tahan mendengar tangisannya.
Seringkali, “tidak tega” dianggap
sebagai bentuk kasih sayang. Kita memberikan apa saja agar anak merasa nyaman
tanpa memberi batasan yang jelas untuk mendisiplinkan. Kasih itu memberi dan
sayang itu membatasi. Saat kita sebagai orang tua membelikan es, itu bentuk
kasih. Adapun sayang itu membatasi mereka meminum es agar tidak batuk. Tidak semua
anak bermasalah itu karena kurang kasih sayang hanya terkadang orang tua kurang
mempunyai ilmu untuk menunjukkan kasih sayang secara tepat pada mereka. Ada
yang menerapkan disiplin dengan kekerasan, atau sebaliknya memberikan kasih
tanpa batasan.
- Sediakan
Waktu
Penyebab kenakalan anak salah satunya adalah karena
tidak diurus dan atau salah asuh. Kita lebih sering “di dekat anak” tetapi
“tidak bersama anak-anak”. Apa beda “di dekat anak” dan “bersama anak”? Berada
di dekat anak, berarti berkaitan dengan keberadaan fisik saja. Fisik kita yang
berada di dekat anak, tapi kita sibuk melakukan hal lain. Berbeda halnya dengan
“bersama anak”, saat bersama anak berarti kita melakukan bersama-sama kegiatan tersebut,
seperti bermain bersama, berdiskusi, dan lain-lain. Kita tentu sering membaca banyak
status atau postingan orang-orang di media sosial dengan caption “quality time bersama orang-orang tersayang”. Memang
kelihatannya menyenangkan, tetapi itu akan menjadi menyedihkan apabila mereka terlihat
berdekatan, tapi ternyata tidak bersama karena lebih sibuk dengan gadget masing-masing.
Menyediakan sebagian waktu kita untuk berkegiatan
bersama anak sangat diperlukan untuk menjalin kedekatan emosinal dengan mereka. Salah satu bentuknya adalah mengajak bicara dengan
bercerita. Biarkan anak-anak kita mengekspresikan pemikiran mereka dengan
menceritakan apa yang mereka rasakan, atau apa yang mereka alami. Bukan hanya
kita yang punya hak bicara.
Diakui atau tidak, kita jarang memberikan
kesempatan anak untuk bercerita dan lebih sering menolak pendapat mereka. Anak-anak
terbiasa mendengar nasihat kita secara sepihak tanpa mendengarkan dulu cerita
atau pendapatnya. Disadari atau tidak, nasihat
yang semacam itu justru dapat menghacurkan harga diri mereka. Mereka menjadi
takut, tidak percaya diri, dan sulit mengungkapkan perasaan dan pemikirannya.
Selain itu, mendapatkan nasihat dengan pola
yang sama setiap hari tanpa mempertimbangkan cara dan waktu yang tepat malah
bisa membuat anak mengabaikannya. Mari mengingat kembali bagaimana perasaan kita
dulu saat mendengar nasihat yang sama tiap harinya? Bagaimana perasaan kita
saat tidak diberikan kesempatan bicara dan tidak didengarkan ceritanya? Kurang
lebih perasaan anak-anak kita akan sama dengan perasaan yang kita rasakan
dahulu jika kita masih menggunakan cara yang sama dalam mendidik anak-anak kita.
Quality Time “1821”
Mengingat pentingnya waktu kebersamaan
bersama keluarga, Abah Ihsan menyarankan untuk kepada para orang tua untuk
meluangkan waktu bersama tiap harinya di sela-sela kesibukan kita sebagai orang
tua. Quality time tersebut dikenal
dengan kode “1821”. Tiga jam kumpul bersama anak dari pukul 18.00-21.00. Hanya tiga
jam dalam sehari kita diminta FOKUS pada anak tanpa ditemani gadget, televisi, smartphone, kompor, mesin cuci, dan lain-lain. Lalu apa saja yang
dilakukan saat “1821”? Mari kira berkenalan dengan jurus berikut ini.
Jurus 3B
(Belajar-Bermain-Bicara)
Saat berada pada quality time “1821, kita dapat melakukan jurus 3B: belajar-bermain-bicara.
Temani anak belajar, bukan hanya menyuruh mereka belajar. Kita bisa membaca
buku bersama mereka, bercerita, atau mendengarkan cerita mereka. Diskusikan banyak hal, mulai dari pekerjaan
rumah dari sekolah sampai perihal karakter, seperti kesopanan, kejujuran,
saling mengasihi, dan lain-lain. Bermainlah bersama anak-anak, akan tetapi
bukan bermain gadget. Lakukan
permainan yang dapat menghangatkan suasana dan menumbuhkan kenyamanan anak
seperti petak umpet, ular tangga, tebak kata, dan lain-lain. Dan yang terkahir,
ajaklah anak kita bicara bukan sekadar bicara atau “ngomongin” (menasihati)
anak. Lakukan obrolan sederhana tentang
keseharian mereka, keseharian kita, pengalaman baru, teman-teman mereka, hobi,
dan lain-lain. Hal ini akan mampu menumbuhkan kedekatan, kehangatan, dan
kepercayaan dari anak - kepada anak.
Sekian resume dari aku semoga kita dapat mengambil hikmah dari apa yang telah dibaca kali ini.
Salam Sayang,
Syifa Maulina Adzkiya
makasih ya kak udah share info ini
ReplyDeletebright stuff